Gunakan Rompi Oranye, Eks Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau M. Syahrir Ditahan KPK

Kamis, 01 Desember 2022 | 19:02 WIB
Gunakan Rompi Oranye, Eks Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau M. Syahrir Ditahan KPK
KPK resmi melakukan penahanan terhadap mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau, M. Syahrir. (Suara.com/Yaumal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi melakukan penahanan terhadap mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau, M. Syahrir, tersangka suap pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) di Provinsi Riau.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penahan terhadap Syahrir dilakukan terhitung sejak Kamis (1/12/2022) hingga 20 Desember depan.

"Terkait kebutuhan proses penyidikan, untuk tersangka MS (Syahrir) dilakukan penahanan oleh tim Penyidik dengan waktu 20 hari pertama," kata Ghufron saat menggelar konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (1/12/2022).

Syahrir selanjutnya menjalani penahan di Rutan KPK pada Kavling C1 Gedung ACLC, Jakarta Selatan. Saat menggelar konferensi pers, terlihat Syahrir mengenakan baju tahanan oranye KPK, dengan menghadap belakang, posisi kepala tertunduk.

Baca Juga: Nama Zulhas dan Sejumlah Anggota DPR Disebut Dalam Kasus Suap Rektor Unila, KPK: akan Didalami

Ditetapkan Tersangka

Sebelumnya Ketua KPK Filri Bahuri pada 27 Oktober lalu, menetapkan Syahrir bersama dua orang lainnya, yakni Frank Wijaya pemegang saham PT. Adimulia Agrolestari dan Sudarso General Manager PT. AA sebagai tersangka.

Kasus ini berawal saat Frank Wijaya menugaskan anak buahnya Sudarso untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT. AA yang segera akan berakhir masa berlakunya ditahun 2024.

Kemudian, tersangka Sudarso melakukan komunikasi hingga melakukan pertemuan dengan M. Syarir membahas terkait perpanjangan HGU.

Sekitar Agustus tahun 2021, , tersangka Sudarso telah menyiapkan dokumen administrasi pengurusan HGU seluas 3300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi. Dokumen itu ditujukan salah satunya kepada BPN Prov Riau.

Baca Juga: Terungkap di Persidangan! Ini Daftar 23 Nama Calon Mahasiswa Unila Titipan Pejabat Negara

Lebih lanjut, kata Firli tersangka Sudarso bertemu di rumah dinas M. Syahrir. Dimana, terkait pengurusan HGU itu M. Syahrir meminta uang sejumlah Rp. 3.5 Miliar.

Sudarso kemudian menemui M Syarir di rumah dinas jabatannya dan dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp3,5 Miliar dalam bentuk dolar singapura dengan pembagian 40 persen sampai 60 persen.

"Sebagai uang muka dan MS (M. Syahrir) menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA," ucap Firli

Kemudian, Sudarso melaporkan permintaan M. Syahrir kepada bosnya Frank Wijaya untuk mengajukan permintaan uang SGD 120 ribu atau setara dengan Rp 1,2 Miliar ke kas PT. AA yang telah disetujui oleh Frank.

Pada September 2021, M. Syahrir kembali meminta Sudarso datang ke rumah dinasnya sekaligus menyerahkan uang tersebut.

"Penyerahan uang SGD 120.000 dari SDR (Sudarso) dilakukan di rumah dinas MS (M. Syahrir) dan MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun," kata Firli

Setelah menerima uang tersebut, M. Syahrir langsung memimpin permohonan perpanjangan HGU PT. AA. Kemudian, tindak lanjut berikutnya dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar.

Atas rekomendasi M. Syahrir, Sudarso menemui Andi Putra dan meminta supaya kebun kemitraan PT AA di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan. Dalam pertemuan yang dilakukan itu Andi Putra tidak mempermasalahkan.

Dimana dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU.

"Yang seharusnya di bangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhkan minimal uang Rp 2 Miliar," ungkap Firli

KPK menilai telah terjadi kesepakatan antara AP (Andi Putra) dengan SDR (Sudarso) dan hal ini juga atas sepengetahuan Frank Wijaya terkait adanya pemberian uang dengan jumlah itu.

"Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh SDR kepada AP uang sebesar Rp500 juta. Berikutnya pada 18 Oktober 2021, SDR diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada AP dengan menyerahkan uang sekitar Rp 200 juta," ujar Firli

Frank Wijaya dan Sudarso disebut sebagai pemberi suap. Keduanya disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1)huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan, tersangka M. Syahrir sebagai penerima suap, dijerat Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI